Pendidikan Seks untuk Anak, Pertahanan Awal dari Pelecehan Seksual

jurnal-rakyat.comLembaga pendidikan dan keluarga mendapat sorotan lagi ketika berbicara tentang pendidikan seksual untuk anak-anak sejak dini. Obrolan tentang pengenalan organ tubuh, termasuk alat kelamin, dan aturan apa yang boleh dan tidak boleh, harus dibicarakan sejak dini untuk pertahanan awal mereka dari kemungkinan terjadinya pelecehan seksual .

Pendidikan seksual tidak bisa lagi menjadi obrolan yang memalukan atau tabu. Apalagi, kasus pelecehan dan kekerasan seksual semakin memakan korban usia anak-anak. Predator anak pun masih bermunculan.

Kasus terakhir di Mojokerto, Jawa Timur, di mana anak TK (6 tahun) mengalami pencabulan oleh tiga bocah usia 8 tahun menjadi alarm yang nyaring. Sejak memasuki tahun 2023, sudah muncul kasus kekerasan seksual yang dialami puluhan anak di Batang, Jawa Tengah, dan pelecehan seksual pada santriwati di Jember, Jawa Timur.

Fanny (39), ibu dari dua putri mengaku sadar betul tentang semakin rentannya anak-anak menjadi korban pelecehan dan kekerasan seksual . Kedua anak perempuannya yang sekarang duduk di bangku SD dan SMP pun langsung diajarkan tentang underwear rules sejak dini.

Baca Juga: Tetangga yang Mengganggu: Tiada Hari Tanpa Kejadian ‘Ajaib’ Penguji Kesabaran

“Saya pernah bilang, jangan mau kalau ada siapa pun yang mau pegang kamu, kecuali mami, terutama vagina. Anaknya pun enggak suka dipegang-pegang orang lain terutama laki-laki. Bahkan, om-nya sekalipun, padahal cuma pegang tangan dan mau disayang, dia langsung ngelak,” tuturnya.

Saat mengajarkan pendidikan seksual yang dimulai dengan pengenalan organ tubuh, ia konsisten dengan menyebutkan nama alat kelamin sesuai namanya. Orang tua yang mengganti istilah penis atau vagina, menurut dia, membuat anak menjadi malu untuk membicarakan tentang seksual dan akhirnya dijadikan lelucon.

Istilah PANTS adalah salah satu yang menjadi acuan sejak lama. Itu merupakan singkatan untuk mengajarkan anak underwear rules.

P adalah Privates are private. Bagian tubuh yang ditutupi pakaian dalam bersifat pribadi, tidak boleh ada yang melihat dan menyentuh. Terkadang, dokter, perawat, atau anggota keluarga perlu melakukannya, asalkan dijelaskan lebih dulu alasannya. Anak pun diajarkan untuk menolak apabila ada orang yang memaksa untuk melihat dan menyentuh area tubuh yang tertutup pakaian dalam.

Baca Juga: 5 Hoaks Seputar Cristiano Ronaldo, Pamer Jersey Golkar hingga Disebut Keturunan Bali

A adalah Always remember your body belongs to you. Tubuh sang anak adalah miliknya sehingga tidak boleh ada yang memaksa untuk melakukan sesuatu yang membuatnya malu atau tidak nyaman. Ketika dia mengalaminya, ajarkan juga untuk bercerita ke orang dewasa yang dipercaya.

N adalah No means no. Anak memiliki hak untuk berkata tidak meskipun yang meminta untuk menyentuh adalah anggota keluarga yang dicintai.

T adalah Talk about secrets that upset you. Ajarkan anak untuk menceritakan hal-hal yang disebut rahasia oleh pihak lain, ke orang dewasa yang dia percaya. Kalau rahasia itu meresahkannya, pastikan bahwa saat diceritakan, ia tidak akan dimarahi.

S adalah Speak up, someone can help. Anak bisa menceritakan hal apapun yang meresahkannya kepada orang dewasa yang dipercayainya. Tidak harus orang tua, tapi bisa juga ke guru atau anggota keluarga lain.

Anak yang sudah mulai berinteraksi dengan lingkungan di luar rumahnya memang bisa saja menjadi korban, di mana pun dan kapan pun. Akan tetapi, ada anak-anak yang lebih rentan lagi mengalami pelecehan dan kekerasan seksual .

Menurut psikolog Dono Baswardono, anak-anak lebih rentan terhadap pelecehan seksual jika mereka pernah mengalami pelecehan serupa. Anak-anak yang tinggal dalam keluarga yang cenderung menelantarkan anak juga lebih berisiko.

Selain itu, anak-anak cacat memiliki kemungkinan 3 kali lipat menjadi korban pelecehan seksual . Apalagi, jika mereka mengalami kesulitan berbicara atau bahasa.

“Anak-anak juga bisa berisiko saat menggunakan internet. Media sosial, ruang obrolan, dan forum web semuanya digunakan oleh pelaku pelecehan seksual anak untuk mencari calon korban,” tuturnya.

Anak yang menjadi korban pasti mengalami dampak secara fisik dan psikologis. Menurut Dono, pelecehan seksual dapat menyebabkan kerusakan fisik dan emosional yang serius pada anak baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang.

“Dalam jangka pendek, anak-anak dapat mengalami masalah kesehatan, seperti penyakit menular seksual, cedera fisik, dan kehamilan yang tidak diinginkan,” katanya.

Dalam jangka panjang, anak yang mengalami pelecehan seksual lebih mungkin menderita depresi, kecemasan, gangguan makan, dan gangguan stres pascatrauma (PTSD). Mereka juga cenderung menyakiti diri sendiri, terlibat dalam perilaku kriminal, menyalahgunakan obat-obatan dan alkohol, dan mati karena bunuh diri saat dewasa muda.

Anak-anak yang pernah dilecehkan secara seksual juga berisiko mengalami eksploitasi seksual. Anak-anak itu terkadang berpindah ke jaringan pelaku untuk tujuan seksual.

Menurut Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia, Ai Maryati Solihah, dampak yang dialami korban menjadi pelajaran untuk lebih serius melakukan pencegahan. Pemerintah sudah melakukan berbagai program, tapi belum ada dampak yang signifikan.

“Kita semua sedang bekerja, bagaimana situasi kekerasan seksual kita tekan sedemikian rupa. Kita harus bangun kritiknya terhadap situasi hari ini. Peningkatan upaya untuk perlindungan anak di berbagai tingkatan pendidikan harus dimajukan,” katanya.

Aspek pencegahan, kata dia, memang yang paling penting adalah pendidikan seksual dari tingkat PAUD sampai SMA. Pendidikan dalam keluarga juga harus mendukung mengenai pendidikan seksual yang mengajarkan untuk perlindungan awal tubuh sang anak.

Selain itu, kata Ai, pemerintah juga harus membangun lingkungan yang menunjukkan perlindungan terhadap anak. Status kota ramah anak memang sudah menggema di beberapa kabupaten/kota, namun itu harus diwujudkan dengan terciptanya kondisi lingkungan sosial yang sangat kondusif untuk melindungi anak-anak.***

error: Content is protected !!