Bahasa (Belum) Menyatukan Anak Bangsa

jurnal-rakyat.com – historis, bahasa Indonesia telah menunjukkan fungsi vitalnya sebagai pemersatu bangsa. Dan bahasa Indonesia telah menyatukan suku bangsa dan keragaman 718 bahasa ibu atau bahasa daerah yang masih lestari hingga saat ini.

Pertanyaan reflektifnya sejak sumpah pemuda diikrarkan 94 tahun yang lalu, sudahkan menyatukan tidak hanya fisik semata, juga emosi dan hati seluruh anak bangsa?

Era digital telah memberi peluang penyebaran bahasa sebagai energi bagi mekarnya kebaikan atau kejahatan dengan potensi sama besarnya.

Bahkan untuk sebuah kata, tagar yang menimbulkan prokontra telah menyulut pertengkaran di media sosial, bahkan di dunia nyata.

Terlebih pada tahun politik, yang mudah menjadikan hal kecil menjadi besar dan menimbulkan polemik kata yang tidak berkesudahan.

Belajar dari pitutur atau kearifan lokal masyarakat adat yang telah membuktikan cara hidup yang bersatu dengan sesama dan mampu membangun harmoni, bahkan bersinergi dengan alam.

Maka penting bagi kita semua memiliki komitmen untuk menghayati, mengembangkan, dan merevitalisasi kearifan lokal cara bertutur dan berbahasa kita agar bahasa menjadi alat bagi mekarnya harmoni sesama anak bangsa.

Wittgenstein dalam ungkapan yang filosofis mengatakan “batas bahasaku adalah batas duniaku”, ia juga melanjutkan batasan antara manusia dan binatang terletak dari bahasa yang digunakan.

Lebih lanjut Ibnu Khaldun dalam “Muqqadimah” mengatakan, tanda berwujudnya peradaban umat manusia ialah berkembangnya ilmu pengetahuan, termasuk bahasa di dalamnya sebagai pengungkapan ide, gagasan, dan ilmu.

Berbahasa dan berbicara sepertinya adalah hal yang biasa, namun berbicara secara cerdas membutuhkan pemahaman dan kearifan diri dalam setiap aktivitas berkomunikasi.

Kebanyakan orang hanya mampu berbicara, namun seringkali tidak mampu mengantisipasi dampak yang ditimbulkannya dari apa yang dikatakan, yang bisa jadi menyakiti dan membuat emosi individual bahkan kolektif.

Saat ini bangsa kita sedang dilanda kegaduhan kata-kata, bahkan diselingi kericuhan pada setiap event komunikasi di semua level dan bidang kehidupan.

Bahkan tak jarang perilaku tersebut disiarkan langsung stasiun televisi, diliput media cetak, dan terkadang menyebar secara viral di medsos. Menjadi isu dan tontonan yang menarik, namun tidak mendidik.

Pada bidang politik pada saat ini kita nyaris kehilangan contoh perdebatan yang mencerahkan dari politisi yang menjadi anggota legislatif yang ada di pusat maupun daerah pada setiap ajang Pemilu maupun Pilkada.

Dalam perspektif Plato, sejatinya kata-kata dari mulut politisi adalah sarana untuk mengeksplorasi kesadaran kemanusiaan untuk menyampaikan kebenaran dan keyakinan positif.

Ilmu Kedokteran melalui operasi plastiknya mampu mengubah wajah fisikal manusia menjadi lebih cantik dan lebih tampan.

Maka retorika kata-kata yang dilakukan untuk pencitraan dan minim etika yang dieksploitasi secara masif akan berpotensi memanipulasi jiwa dan perilaku manusia.

Maka berkembanglah watak manipulatif dan dangkal yang mewarnai dinamika komunikasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Berkomunikasi dengan cerdas bukanlah hal yang mudah. Bisa saja kita setiap hari bertemu dengan seluruh anggota keluarga atau orang lain, namun belum tentu kita mampu saling berbicara dari hati ke hati satu sama lain.

Berkomunikasi sejatinya melibatkan nurani yang akan mampu menghadirkan kejujuran dan harmoni.

Komunikasi yang berkualitas dan efektif, harus mampu menciptakan harmonisasi antara kecerdasan intelektual, emosional, dan spiritual.

Berkomunikasi pada realitasnya ternyata bukan hal yang mudah, merupakan proses yang kompleks meski proses komunikasi dimulai sejak manusia baru menjadi janin dan berada dalam rahim ibunya.

Bahkan negara besar, kuat dan maju, pada masa 5.000 tahunan sebelum Masehi dapat hancur oleh sejenis penyakit yang terkait dengan komunikasi. Dalam bahasa Arab disebut penyakit tabalbul. Dalam bahasa Belanda babylonnische taalverwarring.

Artinya, keseleo lidah dalam mengucapkan kata dan kalimat sehingga menimbulkan salah pengertian, mengundang perdebatan bertele-tele, meninggalkan substansi persoalan yang dibicarakan. Melantur ke mana-mana.

Banyak omong tak karuan. Akibatnya penduduk Babilon saling berperang satu sama lain hingga ahirnya negara Babilon runtuh.

Epidemi Babilon masih menyebar ke seluruh dunia, termasuk dalam diri bangsa kita. Hal itu tampak dari ucapan, sikap dan keputusan yang muncul pada setiap peristiwa penting.

Semua dipublikasikan secara gamblang dan viral, diperbincangkan, diwacanakan, kemudian lenyap tak berbekas. Muncul lagi peristiwa baru. Ramai dijadikan sumber berita, dikomentari, dikritik, hilang lagi. Begitu terus berulang-ulang.

Setiap peristiwa nyaris tak punya substansi pokok. Sehingga tak punya solusi akhir dan hanya meninggalkan endapan masalah.

Endapan yang berangsur-angsur tumbuh berkembang menimbulkan karat pengganggu keharmonisan rotasi alam dan kehidupan manusia.

Akibat selanjutnya dari disharmoni yang sepertinya dibiarkan terus menggejala. Sehingga rotasi alam dan kehidupan manusia mengalami ketimpangan yang berujung kepada kehancuran.

Persis seperti yang terjadi di Babilon pada masa lampau. Salah satunya karena manusia sering kali salah memahami apa yang dikatakan orang lain kepada kita. Dan cara berkomunikasi yang mengutamakan rasio, emosi ketimbang hati nurani.

Bangsa Indonesia sesungguhnya memiliki kekayaan dan keragaman akan kearifan lokal yang penuh dengan filosofi.

Bahkan telah menarik perhatian lembaga dunia di bawah PBB, yaitu UNESCO untuk mengapresiasi dan mendorong menyebarluaskan kearifan lokal kepada masyarakat dunia yang dapat digunakan sebagai solusi alternatif dalam menangani permasalahan kehidupan.

Untuk itu, kearifan lokal perlu diangkat, dilestarikan, dan direvitalisasi kemudian dikembangkan menjadi falsafah hidup bangsa.

Kearifan berkomunikasi

Seorang pakar komunikasi mengatakan, “Kemampuan menyampaikan ide hampir sama pentingnya dengan ide itu sendiri”.

Artinya sebuah ide yang bagus, menarik, dan penting ternyata akan kurang bermakna jika disampaikan oleh seseorang yang kemampuan komunikasinya terbatas.

Akan tetapi sebuah ide yang sederhana, bahkan kurang penting, akan terkesan luar biasa jika disampaikan dengan teknik komunikasi yang baik.

Di Jawa barat, khususnya Sunda kaya kearifan lokal. Salah satunya adalah konsep Silih Asih, Silih Asah, dan Silih Asuh adalah filosofi manusia untuk mewujudkan kehidupan penuh harmoni dengan sesama makhluk Allah SWT. Dan dapat dijadikan landasan dalam bertutur kata untuk membangun harmoni.

Makna asih sebagai wujud komunikasi dan interaksi sosial religius yang menekankan sapaan cinta kasih Tuhan dan merespons cinta kasih Tuhan tersebut melalui cinta kasih kepada sesama manusia.

Begitupun makna silih asah berorientasi kepada kualitas kognitif dan psikomotorik seseorang, yaitu kemampuan dan kemahiran serta keterampilan dalam mengatasi masalah yang dihadapinya.

Sedangkan makna asuh, orientasi nilainya adalah kasih sayang dalam tindakan yang nyata, sikap pragmatik seseorang di masyarakat, eksistensi diri, menerapkan potensi diri di masyarakat, kepada yang lebih tua harus lebih hormat, kepada sesama harus saling menjaga, kepada yang lebih muda harus mampu mengayomi dan memberi contoh yang baik.

Seperti tercermin dalam ungkapan “kudu landung kandungan kedah laer aisan”, artinya hidup harus mengayomi orang lain selain mengoyomi diri sendiri.

“Hirup ulah manggih tungtung, paeh ulah manggih beja”, artinya selamanya dikenang dalam kebaikan dan kalau meninggal tidak meninggalkan sifat buruk.

Silih asih, silih asah, dan silih asuh merupakan suatu konsep yang terdapat dalam kehidupan masyarakat Sunda, dan menjadi bagian dari kearifan budaya Sunda dalam proses menata dan membangun lingkungan hidup yang harmonis.

Pada intinya adalah kesadaran akan adanya saling ketergantungan dengan tidak melupakan jati diri masing-masing.

Kearifan lokal merupakan kebenaran yang telah mentradisi dalam suatu komunitas masyarakat perlu dikembangkan dan internalisasikan dalam kontek nasional dalam bertutur kata termasuk cara berkomunikasi.

Komunikasi yang baik tentu tidak hanya mengutamakan rasio dan emosi, juga perlu melibatkan hati nurani yang merujuk kearifan lokal. Agar Bahasa mampu menjadi alat pemersatu tidak hanya fisik juga hati sesama anak bangsa. Semoga!

error: Content is protected !!